MUSLIM ? TIDAK GEGABAH DALAM IBADAH


Pelaksanaan ibadah harus merujuk pada dalil, agar sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya, sehingga ibadah itu diterima dan berbuah pahala. Muslim yang Kaffah harus sangat apik dan teliti dalam urusan ibadah. Sepanjang tidak ada tuntunan dari agama, apalagi bertentangan dengan agama, seorang muslim tidak akan pernah mau membenarkan ibadah itu.
Muslim harus harus berpegangteguh pada madzhabnya. Tidak pilih madzhab mana yang saat ini enak & meninggalkan madzhab tersebut saat tidak enak. "Ibadah bukan hanya rutinitas formal, ibadah merupakan urusan kebutuhan Hambanya dengan Tuhannya, kalau mau berurusan dengan-Nya, yaa harus serius" tutur Alamsyah Nurseha.

Demikian halnya dengan pelaksanaan ibadah shaum Ramadan, harus merujuk pada dalil, termasuk soal memulai dan mengakhiri shaum itu. Dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit, pelaksanaan Idul Fitri tahun ini Persatuan Islam (PERSIS) tetap konsisten pada pendiriannya untuk tetap merujuk pada dalil yang Shahih.
Bukan masalah perbedaan waktunya, sekali lagi ini ibadah 1 tahun sekali, dan harus serius menyikapinya.

“Barangsiapa yang menyaksikannya maka bershaumlah. Dan barangsiapa yang menyaksikannya, maka berbukalah,” ujar Ketua Umum Persis, M. Abdurrahman mengutip salah satu hadis.

“Yang dimaksud "menyaksikannya" adalah melihat hilal itu,” tambahnya.

Merujuk pada hadis inilah, Persis menetapkan bahwa memulai shaum Ramadan dan mengakhirinya, harus berpatokan pada "terlihatnya hilal". Sehingga, dalam menetapkan Idul Fitri, Persis mensyaratkan terlihatnya hilal.
“Hilal itu nur, cahaya bulan, bukan posisi bulan.

Setelah fase ijtimak, bulan memantulkan cahaya yang tipis, inilah yang disebut hilal. Inilah patokan awal bulan. Kalau bulan belum menghasilkan cahaya, itu bukan hilal namanya. Dalam bahasa Arab kan ada qamar, hilal, badrun, dan lainnya. Itu punya makna yang berbeda-beda,” papar Ketua Dewan Hisab dan Rukyat (DHR) Persis, Muhammad Iqbal Santoso.

“Kalau wujudul hilal itu kan posisi bulan di atas ufuk, mau kelihatan mau tidak kelihatan. Ini tidak memungkinkan diamati, apalagi posisinya rendah. Sebenarnya posisi ini bukan wujudul hilal, tapi wujudul qamar. Hilal dengan qamar itu berbeda, ” katanya.

Iqbal menambahkan, dalam menentukan awal bulan, Persis menggabungkan dua metode, yaitu hisab dan rukyat. Hisab, kata Iqbal, digunakan untuk menghitung dan memprediksi, sementara rukyat untuk menguji hasil hisab itu.

“Hasil hisab itu kan diuji oleh rukyat. Kita menggunakan Imkanur Rukyah, untuk menguji hasil hisab. Hasil rukyat inilah yang dijadikan patokan awal bulan. Sehingga kepastian awal bulan itu akurat, sesuai dengan petunjuk Nabi,” tegasnya.

Sayangnya, saat rukyat hilal, sering dan banyak orang yang mengaku melihat hilal. Padahal secara hisab tidak mungkin, berdasarkan pengamatan pakar teknologi pun tidak dapat dilihat. Untuk menghindari itu, pihaknya mensyaratkan citra visual, sebagai bukti kebenaran terlihatnya hilal.

Karena itulah, dalam penentuan Idul Fitri tahun ini, Persis dengan tegas menyatakan akan menerima keputusan Sidang Isbat, apabila hasil rukyat itu disertai dengan citra visual.

“Bukan hanya tinggi hilalnya, tapi soal melihat hilalnya, apakah benar terlihat atau tidak, harus dibuktikan dengan citra visual,” kata Abdurrahman saat dihubungi persisalamin.com.

Persis tidak mau mengambil keputusan secara gegabah, terlebih dalam urusan  ibadah. Dalam penentuan Idul Fitri tahun ini, sikap dan keputusan Persis sangat jelas.  Syarat yang diajukan tidak banyak, juga tidak muluk-muluk, tapi hanya satu dan sederhana. Tahukah Anda, apa syarat itu?
TERLIHATNYA HILAL

Masih mau pilih-pilih mana yang enak dan tidak enak ?
Bukankah Al-Quran telah jelas dan tidak ada keraguan di dalamnya ?

persisalamin.com
Alamsyah Nurseha. S.Sy., M.MPd.

Share this