Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

ADA APA DENGAN YUYUN

 

KAJIAN AKADEMIK : HIGH ORDER THINKING 



Indonesia kembali sakit hati, apalagi orang-orang yang percaya dan optimis terhadap system pendidikan dan system hukum di Indonesia. Bagaimana tidak sakit hati, seorang gadis sekolah (Yuyun) telah diperkosa dan dibunuh dengan cara diikat kaki tangannya, kemudian dibuang ke jurang dan ditemukan jenazahnya tanpa busana. Kehormatan dan jiwanya dirampas oleh 14 orang yang tengah mabuk alkohol.
Yuyun, adalah salah satu korban dari ribuan kasus perkosaan atau pelecehan. Tercatat di media online Komnas perempuan, pada tahun 2016 terjadi 2.399 Kasus Perkosaan, 601 Kasus Pencabulan dan 166 Kasus Pelecehan seksual di Indonesia. Angka fantastis untuk Negara yang memiliki Ideologi yang Mendasar pada setiap ranah kehidupan bangsa, dan jauh dari perkiraan akal pikiran dan hati nurani kita sebagai Bangsa yang mengaku ber-kemanusiaan yang adil dan beradab.

Luruskan Persepsi

Berbagai interpretasi Kasus Yuyun menghasilkan gejolak baru di berbagai ranah. Ranah Pendidikan, ranah Ekonomi, ranah Sosial, ranah Budaya, ranah Hukum dan lainnya. Terkadang di beberapa analisa hanya mampu mengkaitkan satu ranah dengan ranah lainnya, ada pula yang hanya bisa memberikan hasil analisa “Kambing Hitam” atau hanya saling menyalahkan satu atau dua ranah saja.
Perlu dipahami, untuk menjaga unsur objektivitas dalam penilaian maka pada kasus perkosaan ini kita harus mengetahui bahwa kasus perkosaan bukan hanya Wanita yang menjadi Korban, dan Pria menjadi Pelaku. Pelaku dan korban bisa saja terjadi terbalik. Begitu pula dalam proses pelecehan atau kekerasan seksual, yang tidak menuntut kemungkinan seorang korban pelecehan seksual menjadi pelaku di waktu yang berbeda. Hal ini penting diluruskan untuk meminimalisir pembiasan dan objektivitas analisa sebuah kasus pelecehan.
Selain itu, arti dari pelecehan seksual atau perkosaan mengandung arti memiliki sebuah paksaan, dimana satu pihak dipaksa dan pihak lainnya memaksa. Artinya terjadi perbedaan mendasar yang membedakan pemerkosaan dan aktivitas seksual (seperti Suami Isteri) yakni perbedaan pada rasa saling untuk ingin melakukan. Jika satu pihak dipaksa oleh pihak lain, maka telah terjadi perampasan hak. Hal inilah yang seharusnya dipertegas untuk dijadikan batasan dalam mengkaji sebuah permasalahan yang harus diatasi dan atau diselesaikan, bukan terfokus pada peristiwa seksualnya saja. Karena peristiwa seksual banyak terungkap dengan berbagai modus dan motif.
           

Kajian Demografi

Penyebab terjadinya migrasi, adalah dengan adanya pull factor (faktor penarik) dan push factor (faktor pendorong). Di masa lalu, pull factor dan push factor menjadi garapan pemerintah pusat untuk membuat sebagian masyarakat di Jakarta untuk transmigrasi ke daerah lain yang lebih sedikit jumlah penduduknya.
Pada peristiwa transmigrasi tersebut terindikasi faktor pendorongnya adalah kemiskinan, kurangnya lapangan pekerjaan yang sesuai keahlian, persaingan hidup yang lebih ketat. Sedangkan faktor penariknya adalah disiapkannya lahan garapan dan modal dari pemerintah, kondisi persaingan yang longgar dan juga udara pedesaan yang membuat hidup lebih sehat. Karena berhasil mendefinisikan faktor penarik dan pendorong pada kebijakan Transmigrasi tersebut, secara general program transmigrasi pemerintah tersebut dinilai sukses dilaksanakan.
Dengan mengadopsi teori tersebut, kita dapat menarik kesimpulan ataupun sekedar hipotesa bahwa perilaku manusia dapat diprediksi (bahkan lebih jauh dapat diatur) apabila faktor penarik dan pendorong ini dijadikan referensi. Dengan kata lain, peningkatan faktor penarik dan pendorong, akan mempengaruhi perilaku manusia dengan aturan yang telah diinstruksikan padanya. Sedangkan dengan mengurangi faktor penarik dan pendorongnya, maka perilaku manusia akan menjauhi/meninggalkan perintah tersebut.
Kajian teori tersebut bisa dijadikan dasar analisa munculnya kasus perkosaan, atau pelecehan seksual. Sehingga dengannya, mampu menghasilkan pertanyaan penelitian baru yang bisa dijadikan bahan kajian dari berbagai ranah, baik ranah Pendidikan, ranah Ekonomi, ranah Sosial, ranah Budaya, ranah Hukum dan lainnya.
           

Bagaimana Kebijakan Saat Ini

Hasil Kajian Teori dan atau konsep di atas, dapat teridentifikasi faktor penarik dan faktor pendorong secara utuh, sehingga dengannya akan mampu meminimalisir kekerasan seksual. Me-minimalisir kekerasan seksual tersebut jelas harus disikapi oleh berbagai pihak yang berkepentingan, terlebih pada Pemerintah sebagai Pelayan Masyarakat yang harus menjamin keselamatan warganya dengan memproduksi aturan hukum yang benar-benar menjamin warganya. Konsep Push dan Pull seyogyanya menjadi dasar pengambil kebijakan pemerintah untuk menjamin aturan hukum yang diberlakukan benar-benar memenuhi kaidah ”jera”, sehingga tidak ada kesempatan keinginan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Belum lagi jika kajian ini sudah masuk pada ranah alkohol, yang teridentifikasi sebagai salah satu faktor pendorong dari adanya ketidaksadaran diri untuk melakukan berbagai kejahatan. Tak disadari pula tata busana yang lazim digunakan oleh kaum hawa menjadi faktor penarik, apalagi hingga saat ini belum ada aturan pusat yang mengatur hal tersebut.
Kajian faktor penarik dan faktor pendorong tidak terbatas hanya minuman beralkohol dan cara berpakaian saja. Masih variabel lain yang dapat diidentifikasi alasan seseorang melakukan tindak kekerasan seksual. Variabel geografis, budaya, dan jaman memiliki kekhasan faktor penarik dan faktor pendorongnya tersendiri. Kekhasan-kekhasan tersebut yang harus dipetakan untuk mendapatkan hasil yang kajian yang menghasilkan solusi yang efektif.
***
Dari latar belakang permasalahan yang diungkap di atas, Nampak indikator efektifitas sebuah undang-undang belum mampu menjamin warganya. Seyogyanya, semua praktisi di semua ranah (pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dll) mampu bersama-sama berpikir untuk tidak lagi “doing the same thing over and over again and expecting different results”, kata Einstein puluhan tahun yang lampau yang memiliki arti agar kita terus berpikir dan mendapatkan inovasi yang bersifat preventif.
Lalu, peran kita di dunia pendidikan harus seperti apa ? HIGH ORDER THINKING !

KETIKA JUM’AT-an DI HARI IED

Ibadah Jumat

Ibadah Sholat Ied

Ketika hari raya, baik idul fitri maupun idul adha, terjadi pada hari Jum’at, maka berarti dua hari raya telah berhimpun dan berkumpul pada satu hari, yakni hari raya tahunan dan hari raya pekanan. Nah ketika itu terjadi, seperti pada idul fitri sebentar lagi yang diprediksi kuat sekali insyaallah akan terjadi serempak pada hari Jum’at tanggal 17 Juli 2015, lalu apa yang harus atau boleh kita lakukan? Apakah disamping shalat Id, kitapun tetap wajib menghadiri shalat Jum’at pula? Ataukah shalat Jum’at hanya wajib bagi yang tidak ikut shalat Id paginya ? Dan bagi yang telah menghadiri shalat Id, apakah ia tetap wajib mengerjakan shalat dzuhur, ataukah kewajiban dzuhurpun sekaligus ikut gugur? Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, mari kita cermati beberapa riwayat berikut ini:

1. Sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra. bertanya kepada sahabat Zaid bin Arqam: Apakah Engkau pernah bersama Rasulullah SAW menyaksikan terjadinya dua hari raya dalam satu hari? Jawab Zaid: Ya, pernah. Lalu apa yang Beliau lakukan?, tanya Mu’awiyah lagi. Zaid menjelaskan bahwa, Beliau (Rasulullah SAW) mengerjakan shalat Id, lalu  memberikan rukhshah (keringanan) dalam hal shalat Jum’at, seraya bersabda: “Siapa yang ingin tetap shalat Jum’at, maka silakan ikut hadir” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Al-Hakim).

2. Hadits Abu Hurairah ra: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya (yakni Idul Fitri dan hari Jum’at). Siapa yang ingin, maka (shalat Id-nya) telah cukup baginya sebagai pengganti shalat Jum’at. Namun kami akan tetap mengadakannya” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan lain-lain).

3. Hadits Ibnu Umar ra, dimana beliau berkata: Pernah terjadi bertemunya dua hari raya  (hari raya Idul Fitri dan hari raya Jum’at) pada masa Rasulullah SAW. Maka Beliaupun mengadakan shalat Id bersama kaum muslimin, lalu bersabda: “Siapa yang ingin tetap ikut shalat Jum’at, maka silakan hadir, dan siapa yang memilih tidak ikut, juga tidak mengapa” (HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).

4. Hadits Ibnu Abbas ra. riwayat Ibnu Majah, dengan makna dan teks yang hampir sama dengan hadits Ibnu Umar diatas.

5. Dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, beliau berkata: Ibnu Az-Zubair ra. pernah shalat Id bersama kami pada hari Jum’at, di pagi hari. Lalu kami pergi lagi untuk shalat Jum’at, namun beliau (Ibnu Az-Zubair yang menjadi khalifah saat itu) justru tidak keluar ke masjid. Sehingga kamipun shalat sendiri (maksudnya shalat berjamaah Jum’at tanpa kehadiran sang khalifah). Saat itu Ibnu Abbas ra. sedang berada di Thaif. Dan begitu tiba, kamipun menceritakan kepada beliau (tentang apa yang dilakukan khalifah Ibnu Az-Zubair ra), lalu beliau berkomentar: Dia (Ibnu Az-Zubair) telah sesuai dengan sunnah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah). Di akhir teks riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat tambahan: Ibnu Az-Zubair berkata: Aku melihat Umar bin Al-Khaththab, ketika bertemu dua hari raya pada satu hari, beliau melakukan seperti yang aku lakukan.

6. Terdapat beberapa riwayat lain dari praktik khalifah Utsman bin ‘Affan ra. (HR. Al-Bukhari dan Malik dalam Al-Muwaththa’), dari praktik khalifah Ali bin Abi Thalib ra. (HR. Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah), dan lain-lain, dengan isi dan kandungan makna yang secara umum sama dengan riwayat-riwayat hadits diatas.

Maka dari riwayat-riwayat hadits marfu’ dan mauquf diatas, bisa ditarik beberapa kesimpulan hukum dan sikap sebagai berikut:

1. Siapa yang telah shalat Id, maka dirukhshahkan (diringankan) baginya untuk tidak menghadiri shalat Jum’at, namun ia tetap wajib shalat dzuhur di waktunya seperti hari-hari biasa. Akan tetapi lebih baik dan lebih afdhal apabila ia memilih untuk tetap menghadiri shalat Jum’at bersama kaum muslimin lain yang mengerjakannya.

2. Adapun bagi kaum laki-laki yang, karena satu dan lain hal, tidak ikut shalat Id, maka rukhshah (keringanan) soal shalat Jum’at tidak berlaku baginya. Sehingga ia tetap wajib shalat Jum’at seperti pada hari-hari Jum’at yang lain. Kecuali ketika ternyata tidak diadakan shalat Jum’at di masjid yang memungkinkan baginya untuk melakukannya. Maka dalam kondisi ini, ia cukup shalat dzuhur pada waktunya seperti biasa.

3. Wajib bagi penanggung jawab, pengurus, takmir atau imam tetap masjid jami’ (masjid yang biasa mengadakan shalat jum’at) untuk tetap menyelenggarakan shalat jum’at, agar kaum muslim yang ingin, bisa mengikutinya. Demikian pula bagi seorang khatib yang telah terikat janji untuk berkhutbah sesuai jadwal, tentu tetap wajib memenuhi janji khutbahnya, meskipun ia telah ikut shalat Id pada pagi harinya. Kecuali bila memang telah ada khatib pengganti yang disepakati.

4. Sebagian ulama menyebutkan bahwa, tidak disyariatkan adanya kumandang adzan di waktu dzuhur, pada hari itu, kecuali adzan untuk shalat jamaah Jum'at di masjid-masjid yang menyelenggarakannya saja. Jadi intinya tidak ada seruan adzan, pada hari itu, untuk shalat dzuhur.

5. Pendapat yang mengatakan bahwa, bagi yang telah shalat Id, maka gugur pulalah baginya shalat Jum’at dan shalat dzuhur sekaligus, adalah pendapat yang marjuh (tidak kuat), karena bersandar kepada dasar yang sangat lemah. Oleh karenanya, para ulama sepanjang sejarah  mengabaikan pendapat tersebut dan tidak menghiraukannya.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawwal 1436. Taqabbalallahu minna wa minkum. Semoga kita semua termasuk yang tercatat dalam daftar para pemenang dan juara dengan piala taqwa yang istimewa. Aamiin.

Oleh:
(H. Ahmad Mudzoffar Jufri)
(H. Agus Sholehuddin, LC.)
(Alamsyah Nurseha, S.Sy., M.MPd.)

PARADIGMA PERSAUDARAAN DALAM LEBARAN

alamsyahnurseha
Paradigma 1 Syawal (lebaran)

Sembari mendengarkan takbir, tahmid, dan tahlil yang dilantunkan Umat Muslim. Penulis mencoba berdiskusi yang mengkerucut kepada perihal "Tenggang Rasa Bangsa".

Hal tersebut (tenggang rasa) sangat dielu-elukan bangsa lain kepada Bangsa Indonesia yang katanya berbangsa majemuk.

Saking majemuknya, bangsa Indonesia hanya tahu kemajemukannya yang ada disekitarannya, peduli pada kemajemukan lainnya saat bersentuhan dengan dirinya.
Mengawali pembicaraan di forum Doktor Pendidikan, penulis mengangkat istilah "lebaran". Sudah tentu semua bangsa tahu makna lebaran (secara majazi), entah secara ma'nawi.

Melawan kemacetan, melawan ketidakpunyaan, melawan kepenatan yang rela demi kebersamaan itulah Lebaran di Indonesia. Menjadi "simbol" kasih sayang terhadap sanak sauda di kampung halamannya.

Simbol tersebut menjadi simpulan dari setiap kejaran 1 Syawal, bagaimana sebelumnya mereka masing-masing mengejar "keduniawian" demi kesenangan masing-masing, yang terasa melupakan sanak keluarga lainnya, dan bisa dimaafkan saat 1 Syawal.

Apa bedanya dengan Sejarah sebuah Bangsa, yang pernah saling menjajah namun saat saling membutuhkan mereka seakan hewan simbiosis mutualisme. Jika hal ini terus dibiarkan, tentu menjadi karang yang keras yang justru akan menghalangi lahirnya paradigma baru terhadap setiap landasan teologis & landasan filosofis dari "persaudaraan".

Semoga kita benar-benar menjadi Muslim yang kaffah, yang tak pernah henti mengangkat derajat kita (dengan selalu "membaca" pedoman kira) untuk memahami segala hal keduniawian.

Waallahualambilqur'anilkariim...

MUSLIM ? TIDAK GEGABAH DALAM IBADAH


Pelaksanaan ibadah harus merujuk pada dalil, agar sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya, sehingga ibadah itu diterima dan berbuah pahala. Muslim yang Kaffah harus sangat apik dan teliti dalam urusan ibadah. Sepanjang tidak ada tuntunan dari agama, apalagi bertentangan dengan agama, seorang muslim tidak akan pernah mau membenarkan ibadah itu.
Muslim harus harus berpegangteguh pada madzhabnya. Tidak pilih madzhab mana yang saat ini enak & meninggalkan madzhab tersebut saat tidak enak. "Ibadah bukan hanya rutinitas formal, ibadah merupakan urusan kebutuhan Hambanya dengan Tuhannya, kalau mau berurusan dengan-Nya, yaa harus serius" tutur Alamsyah Nurseha.

Demikian halnya dengan pelaksanaan ibadah shaum Ramadan, harus merujuk pada dalil, termasuk soal memulai dan mengakhiri shaum itu. Dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit, pelaksanaan Idul Fitri tahun ini Persatuan Islam (PERSIS) tetap konsisten pada pendiriannya untuk tetap merujuk pada dalil yang Shahih.
Bukan masalah perbedaan waktunya, sekali lagi ini ibadah 1 tahun sekali, dan harus serius menyikapinya.

“Barangsiapa yang menyaksikannya maka bershaumlah. Dan barangsiapa yang menyaksikannya, maka berbukalah,” ujar Ketua Umum Persis, M. Abdurrahman mengutip salah satu hadis.

“Yang dimaksud "menyaksikannya" adalah melihat hilal itu,” tambahnya.

Merujuk pada hadis inilah, Persis menetapkan bahwa memulai shaum Ramadan dan mengakhirinya, harus berpatokan pada "terlihatnya hilal". Sehingga, dalam menetapkan Idul Fitri, Persis mensyaratkan terlihatnya hilal.
“Hilal itu nur, cahaya bulan, bukan posisi bulan.

Setelah fase ijtimak, bulan memantulkan cahaya yang tipis, inilah yang disebut hilal. Inilah patokan awal bulan. Kalau bulan belum menghasilkan cahaya, itu bukan hilal namanya. Dalam bahasa Arab kan ada qamar, hilal, badrun, dan lainnya. Itu punya makna yang berbeda-beda,” papar Ketua Dewan Hisab dan Rukyat (DHR) Persis, Muhammad Iqbal Santoso.

“Kalau wujudul hilal itu kan posisi bulan di atas ufuk, mau kelihatan mau tidak kelihatan. Ini tidak memungkinkan diamati, apalagi posisinya rendah. Sebenarnya posisi ini bukan wujudul hilal, tapi wujudul qamar. Hilal dengan qamar itu berbeda, ” katanya.

Iqbal menambahkan, dalam menentukan awal bulan, Persis menggabungkan dua metode, yaitu hisab dan rukyat. Hisab, kata Iqbal, digunakan untuk menghitung dan memprediksi, sementara rukyat untuk menguji hasil hisab itu.

“Hasil hisab itu kan diuji oleh rukyat. Kita menggunakan Imkanur Rukyah, untuk menguji hasil hisab. Hasil rukyat inilah yang dijadikan patokan awal bulan. Sehingga kepastian awal bulan itu akurat, sesuai dengan petunjuk Nabi,” tegasnya.

Sayangnya, saat rukyat hilal, sering dan banyak orang yang mengaku melihat hilal. Padahal secara hisab tidak mungkin, berdasarkan pengamatan pakar teknologi pun tidak dapat dilihat. Untuk menghindari itu, pihaknya mensyaratkan citra visual, sebagai bukti kebenaran terlihatnya hilal.

Karena itulah, dalam penentuan Idul Fitri tahun ini, Persis dengan tegas menyatakan akan menerima keputusan Sidang Isbat, apabila hasil rukyat itu disertai dengan citra visual.

“Bukan hanya tinggi hilalnya, tapi soal melihat hilalnya, apakah benar terlihat atau tidak, harus dibuktikan dengan citra visual,” kata Abdurrahman saat dihubungi persisalamin.com.

Persis tidak mau mengambil keputusan secara gegabah, terlebih dalam urusan  ibadah. Dalam penentuan Idul Fitri tahun ini, sikap dan keputusan Persis sangat jelas.  Syarat yang diajukan tidak banyak, juga tidak muluk-muluk, tapi hanya satu dan sederhana. Tahukah Anda, apa syarat itu?
TERLIHATNYA HILAL

Masih mau pilih-pilih mana yang enak dan tidak enak ?
Bukankah Al-Quran telah jelas dan tidak ada keraguan di dalamnya ?

persisalamin.com
Alamsyah Nurseha. S.Sy., M.MPd.

DOA BERBUKA - SHAHIH-KAH ?

Masyhur, tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada “doa berbuka puasa”. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum tentu shahih derajatnya.

Terkabulnya doa dan ditetapkannya pahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dari setiap doa yang kita panjatkan tentunya adalah harapan kita semua. Kali ini, mari kita mengkaji secara ringkas, doa berbuka puasa yang terkenal di tengah masyarakat, kemudian membandingkannya dengan yang shahih. Setelah mengetahui ilmunya nanti, mudah-mudahan kita akan mengamalkannya. Amin.

Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat

Lafazh pertama:
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”
Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[1]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai dhaif oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.

Penulis kitab Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan menuturkan, “(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud berkata, ‘Musaddad telah menyebutkan kepada kami, Hasyim telah menyebutkan kepada kami dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, ‘Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.’”[2]

Mua’dz ini tidaklah dianggap sebagai perawi yang tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkan tentangnya di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-Rawah, sebagaimana al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib (8/224).[2]

Seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu Hibban dikenal oleh para ulama sebagai orang yang mutasahil, yaitu bermudah-mudahan dalam menshohihkan hadits-ed.

Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.[3]

Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if.[4]

Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.[5]
Lafazh kedua:

اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”


Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”[6]

 Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.

Berbuka Puasalah dengan Doa-doa Berikut Ini

Do’a pertama:

Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ
“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah-ed.”


[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami': 4/209, no. 4678) [7]

Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abdullah bin Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan ….‘”

Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya (berbuka puasa, pen) pada waktunya (waktu berbuka, pen). Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka. Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan “bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)

Adapun ucapan وثبت الأجر maksudnya “telah hilanglah kelelahan dan telah diperolehlah pahala”, ini merupakan bentuk motivasi untuk beribadah. Maka, kelelahan menjadi hilang dan pergi, dan pahala berjumlah banyak telah ditetapkan bagi orang yang telah berpuasa tersebut.

Do’a kedua:

Adapun doa yang lain yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma adalah,

اَللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ
“Allahumma inni as-aluka bi rohmatikal latii wasi’at kulla syain an taghfirolii-ed”


[Ya Allah, aku memohon rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya engkau mengampuni aku](HR. Ibnu Majah: 1/557, no. 1753; dinilai hasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk kitab al-Adzkar; lihat Syarah al-Adzkar: 4/342) [8]


[1] Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Kitab ash-Shaum, Bab al-Qaul ‘inda al-Ifthar, hadits no. 2358.

 [2] Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, hlm. 74-75.

 [3] Lihat Irwaul Gholil, 4/38-ed.

 [4] Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38-ed.

 [5] Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45-ed.

 [6] Mirqotul Mafatih, 6/304-ed.

 [7] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 176.

 [8] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 177.

Referensi:


Irwaul Gholil fii Takhrij Ahadits Manaris Sabil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami, cetakan kedua, 1405 H

Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Mala ‘Ali Al Qori, Asy Syamilah.

Syarah Hisnul Muslim, Majdi bin ‘Abdul Wahhab al-Ahmad, Disempurnakan dan Dita’liq oleh Penulis Hisnul Muslim (Syekh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani).

Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Syekh Muhammad Nashirudin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://s203841464.onlinehome.us/waqfeya/books/22/32/sdsunnd.rar)
Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, Syekh Abdullah Muhammad al-Hamidi, Dar Ibnu Hazm, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://ia311036.us.archive.org/0/items/waq57114/57114.pdf)
Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Tahqiq: Syaikh ‘Abdul Qodir ‘Arfan, Darul Fikr, cetakan pertama, 1424 H (jilid kedua).

Penulis: Ummu Asiyah Athirah

 Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

 Artikel Muslimah.or.id &
 alamsyahnurseha.blogspot.com