GURU HARUS GURU

Sengkarut kehidupan menjadi semakin akut dalam benak setiap individu. Tak hanya level Profesor ataupun Guru Besar di setiap disiplin ilmu. Jajaran ibu rumah tangga, bahkan anak yang beranjak dewasa pun jua merasakannya. Chaos seluruh interpretasi ilmu yang membekali setiap individu, indikasi tak tiba hakikat ke-ilmu-an menjadi sebuah pengetahuan yang hantarkan setiap individu menjadi manusia yang memanusiakan. 

Rasanya tak adil jika humanism diperbincangkan tanpa adanya unsur ekonomi. Nubuat proklamasi menjadi hiasan dinding yang mulai lapuk di Sekolah dasar yang sudah mulai runtuh nan tak berisi. Garuda menjadi symbol yang tak luntur tertancap di setiap pakaian kebesaran, namun tak pernah menjadikannya besar di antara bangsa-bangsa.

Seiring terngiang Pledoi Sang Proklamator pada 18 Agustus 1930, yang dengan lantang menegaskan bahwa: “penduduk bumiputra menjadi suatu bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan hindia menjadi buruh antara bangsa-bangsa”. Prof. Van Gelderen, dalam bukunya “Voorlezingen” halaman 116. Terasa dejavu, melihat rengekan bangsa ini di tengah perang MeA sebagai pintu Globalisasi dan Digitalisasi.

Acapkali menjadi pemberitaan yang sudah mampu ditebak oleh bangsa ini, melihat strategi berkudanya para Vampir Kekuasaan. Entah siapa yang tak sanggup menyusun masivenya scenario berbangsa. Entah siapa yang membuat cerdas bangsa ini hingga mampu dahului sang sutradara yang membuat sengkarut bernegara.

Preventisasi, tak ayal membuat bangsa ini terbangun dari tidur nyenyak di zona nyaman. Era marathon dunia ini ditanggapi hanya dengan menggeliatkan tubuh berbalutkan dosa dari mengesampingkan anugerah kekayaan Nusantara. 

Era ini kita masih mempertanyakan kehadiran “…suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya…”, terlepas dari pelbagai alibi yang diungkap secara sistemik di antara aspek-aspek kehidupan. Terlebih capaian mulia nusantara kita berkehendak hadirkan keimanan dan ketakwaan sebagai arti dari kekuatan spiritual keagamaan yang dapat menjadikannya sebagai pagar bagi pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, juga berbagai keterampilan.

Seakan tak lagi multiloope dengan konstitusi Negara, yang jua belum hadirkan cendikiawan menjadi sosok tangguh melawan berbagai akar masalah bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Entah di mana benang merah dari kompleksnya permasalahan-permasalahan hari ini. Entah di mana akar masalah yang menyebabkan hal ihwal akutnya penyakit yang diderita nusantara.

Hanyalah buang sumber daya jika kita hanya terus menuntut peranan Pemerintah dan wakil rakyat yang kita pilih untuk terus berjuang melepaskan penyakit akut yang diderita nusantara ini. Gambaran kebodohan kolektif yang tak jua tuntaskan penyakit akut yang jua akan menular pada anak-cucu kita kelak.

Menjadi penting untuk saat ini kita bersama-sama tidak merasa asing dilingkungan profane, yang abai pada gawatnya masa depan bangsa. Kemiskinan karakter sebagai indikasi dari kemiskinan pemikiran, kemiskinan kebaruan, dan hilangnya gairah mempertanyakan pada diri kita tentang dasar hidup pribadi, bermasyarakat juga bernegara. Dikalahkan oleh hal sepele yang terus dikonsumsi dan dijadikan pedoman sebagai dominasi wacana public belaka.

Tiada lagi alasan untuk kita tidak bersama-sama berpikir tingkat tinggi, High Order Thinking, berpikir untuk menyusun strategi penyelesaian masalah akut. Bukan lagi memberikan solusi yang di kemudian hari menjadi masalah baru, atau bahkan memperburuk akutnya penyakit nusantara.

Pandangan Langeveld (1950), yang memaknai guru sebagai penceramah zaman. Hal ini sejatinya mampu menjadi dasar kebijakan preventif. Bukanlah kebijakan yang dilahirkan seperti halnya pengobatan generic. Bukan pula hal yang menghilangkan Hak Hidup atau meniadakan aspek humanis. Bukan mengartikan, hak menjadi sosok guru didominasi oleh freshgraduate belaka. Namun penceramah zaman tersebut harus dipahami mendalam dari berbagai perspektif nilai.

Teringat sosok guru yang selalu hadir di setiap saat pengelolaan pencapaian tujuan pendidikan. Sosok Guru dengan “kebaruannya” tak terbantahkan menjadi penceramah zaman, bukan pada satu zaman saja, namun setiap zaman hingga saat ini pun beliau tetap hadir, Ki Hajar Dewantara. Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani, seyogyanya menjadi bahan kajian mendalam bagi kita yang mendambakan indahnya bermasyarakat, damainya berbangsa dan bernegara di bumi nusantara.

Ing Ngarsa Sung Tulada, sosok guru yang hadirkan keteladanan. Karenanya, tiada lagi alasan kita untuk mempertanyakan peran pemerintah dan wakil rakyat untuk memperbaiki kehidupan bangsa kita, terlepas dari penyakit akut yang diderita oleh nusantara. Ini menjadi satu kewajiban kolektif bagi siapapun yang hadir menjadi sosok yang di depan, terlebih sosok pemberi influence, yakni Guru.

Ing Madya Mangun Karsa, sosok guru yang hadir di tengah-tengah murid untuk lahirkan prakarsa dan ide. Berbicara Prakarsa dan ide menjadi satu unsur yang juga amat berat jika kita hanya merasa hal ini dibebankan pada diri kita saja, lupa ketika kita harus membandingkan dengan beban dari masalah nusantara. Konsumsi wacana public, tanpa kebaruan menjadikan diri kita sebagai salah satu unsur dari rantai makanan tanpa kebaruan. Jelas untuk level Low Order Thinking pun kita masih tertatih-tatih karenanya.

Tut Wuri Handayani, sosok Guru harus mampu memberikan dorongan dan arahan. Terlebih hal ini, di era Masyarakat Ekonomi Asean sebagai jendela dari Globalisasi dan Digitalisasi. Kita masih sebagai individu yang baru membuka mata di kala terbangun dari gebrakan marathon bangsa-bangsa sekitar kita. Tuntutan menjadi pendorong dan pengarah tak mampu dilakukan, kerana intervensi pendidikan luar lebih tajam merasuki murid kita, sehingga murid kita lebih dahulu menjadi sosok yang kreatif tanpa batas dan tanpa arah. Bagaikan “memancing ikan paus, menggunakan umpan cacing tanah”.

Hari ini, kita harus bersama-sama yakinkan diri kita untuk senantiasa berpikir keras dan bertindak pasti. Berpikir tingkat tinggi yang hadirkan solusi tanpa berakibat masalah lain, bertindak pasti untuk hadirkan berbagai kualitas kebaruan dengan tetap menjaga kekitaan yang luas makna tanpa dibatasi benteng universitas. Hal ini sebagai bukti, bahwa kita sebagai bangsa yang kembali hadirkan nubuat proklamasi dan mengambil alih inisiatif berdayakan berbagai potensi di tengah penyakit akut nusantara.

Selamat Hari Guru 

Share this

0 Comment to "GURU HARUS GURU"

Posting Komentar