Kompas Rusak Pendidikan Indonesia


BARANGKALI ada untungnya tawuran pelajar mencuat sekaligus menyibak sekelumit tabir kebobrokan dunia pendidikan di negeri ini. Meski ramai saling tuding, setidaknya ini jadi alarm yang menginsyafkan kebutuhan menerawang kembali roh pendidikan tanah air.

Sadar atau tidak, pendidikan tak ubahnya instrumen ampuh penguasa dalam bermain bola. Mau dibawa ke mana bola (baca: generasi muda) tergantung pada strategi (baca: ideologi) pendidikan sang panglima. Konkretnya bisa kita tengok bersama dalam paparan kurikulum yang digagas pemerintah.

Di Tanah Air kian kentara arah roh pendidikan mulai menubruk sisi humanis, persatuan, dan keadilan. Betapa tidak, atas nama kompetensi – disesuaikan dengan permintaan pasar kerja –anak bangsa kian dididik menjadi gandrung berkompetisi dan mengalienasi saudara sebangsanya. Belakangan santer ditemui saling serang bahkan saling bunuh antarpelajar. Kasus narkoba dan pornografi di dunia pendidikan juga ikut merebak. Di lain pihak, beberapa pelajar kian terperosok dalam konsumerisme akut. Tak jarang mereka kehilangan akal sehat –mengancam bunuh diri – saat keinginannya tidak dipenuhi. Individualisme dan egoisme pun perlahan-lahan menguasai benak pelajar. Mereka mulai melupakan esensi kegotongroyongan. Tak syak, sikut-sikutan dalam merengkuh cita-cita menjadi jamak mewarnai relasi sosial. Celakanya, korupsi yang marak di negeri ini juga berimbas pada ditudingnya beberapa perguruan tinggi –  oleh salah satu anggota DPR RI –  sebagai pencetak para koruptor.

Pendidikan (Tanpa) Budaya
Semoga saja dikawinkannya kembali pendidikan dan kebudayaan dalam satu rumah yakni Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan bagian dari keinsyafan negeri ini akan esensi pendidikan yang seutuhnya. Menciptakan pendidikan yang bernuansa budaya nampaknya sudah saatnya dijadikan solusi akan derogasi moral para pelajar.

Bukan kebetulan salah satu pemimpin besar negeri ini, Ir. Soekarno menggadang-gadang kepribadian dalam bidang budaya menjadi salah satu elemen dari trisakti pancasila. Budaya ditempatkan pada posisi yang sangat vital dalam melanjutkan revolusi negeri ini. Meminjam dari Fred Wibowo (2007), budaya didefenisikan sebagai seluruh usaha manusia dengan akal budinya, melalui proses belajar yang bertujuan memperbaiki situasinya, mempertinggi kualitas hidupnya, dan semakin menyempurnakan dunia. Dalam kata lain, bila kita melihat produk pendidikan kita belakangan tidak mencerminkan kualitas hidup dan menyempurnakan negeri ini sudah barang tentu kita patut mempertanyakannya.
            
Bila ditelisik kembali kurikulum pendidikan Tanah Air yang berbasis kompetensi pelan-pelan mengalienasi kebudayaan itu sendiri dari dunia pendidikan. Bila tadi kita sepakat pendidikan sebagai rekayasa penguasa, saat ini pendidikan kita sedang merekayasa generasi mudanya mengikuti kebutuhan sistem kapitalisme yang sedang membelenggu negeri ini. Para generasi muda disiapkan menjadi kuli para investor.

Belum lagi pendidikan berbasis kompetensi ini tak pelak menciptakan diskriminasi yang sangat akut di kalangan pelajar. Mereka yang dianggap bodoh kerap kali mendapat cacian tidak saja dari temannya melainkan juga dari para guru. Para guru justru mengajarkan pengasingan akan yang kurang pintar dibandingkan mengajarkan kebersamaan dan saling menolong perihal saling mencerdaskan sesama anak bangsa. Nampaknya para guru lupa bahwa latar belakang para pelajar yang beragam juga kerap mempengaruhi daya tangkap mereka. Sungguh bengisnya pendidikan negeri ini bilamana mereka yang tidak beruntung dalam rumahnya masih mendapat caci maki dari sekolah dan perguruan tinggi.

Dalam pendidikan yang tak berbudaya dewasa ini, para pelajarnya kian dikondisikan menjadi manusia asosial dan egois. Para pelajar disibukkan dalam aktivitas belajar yang mendewakan kecerdasan intelektual dan mengabaikan kepekaan dan kecerdasan emosional. Para pelajar tidak pernah melihat ketidakadilan yang merebak di lingkungan sekitar mereka. Fokus pada diri sendiri sebagai manifestasi individualisme mengakar dalam batin dan benak para pelajar. Tidak aneh bila Ivan Illich akhirnya berujar bahwa pendidikan sekolah justru akan mencabut murid keluar dari akar kehidupan lingkungan dan memasukkan ke dalam kotak yang namanya kelas sehingga murid menjadi asing terhadap realitas lingkungannya.

Menggugat Media

Di Indonesia, kita lazim memaknai pendidikan sebagai upaya pencerdasan kehidupan bangsa, sehingga kita tidak hanya membicarakan sekolah dan perguruan tinggi melainkan juga elemen-elemen lain di lingkungan pelajar, termasuk media. Lantas, bila masih serius pada cita-cita pencerdasan kita harus mempertanyakan bagaimana negeri ini menempatkan media –  yang dewasa ini nyata-nyata berperan sebagai guru yang paling menarik bagi kalangan pelajar?

Barangkali sudah waktunya kita menggugat media yang belakangan tidak mencerminkan usaha negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Media telah sukses mengajarkan halusinasi dan dunia yang asing dari realita di lapangan. Media menjadi agen kapitalisme yang menyebarkan paham konsumerisme dan minim inovasi. Sontak media sukses menciptakan kelas sosial dengan jurang menganga di antaranya.

Media yang kerap menjadikan caci maki sebagai hiburan sensasional tak pelak terpatri dalam benak para pelajar. Emosi dieksploitasi dan dikemas menjadi konsumsi massal. Kekerasan dan sensualitas diumbar tanpa memperhatikan para pelajar sebagai konsumen media. Sudah barang tentu bukan hal aneh bila para pelajar dipicu untuk gandrung pada kriminalitas, egoisme, konsumerisme dan individualitas. Dan, barangkali sudah saatnya kita meninjau arah pendidikan Indonesia sudahkah mencerdaskan seluruh bangsa dan menciptakan manusia-manusia intelektual yang berkepribadian dalam budaya. Bila belum barangkali kompasnya sudah rusak. Mari menyumbang kompas baru yang lebih baik. Merdeka!

Junius Fernando Saragih
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
FISIP Universitas Padjadjaran
Penulis di Komunitas Pena Padjajaran
Dipublish kembali dari :

Share this

0 Comment to "Kompas Rusak Pendidikan Indonesia"

Posting Komentar